Sunday, October 27, 2013

Dunia yang serba resah gelisah

Saya menulis ini beberapa hari setelah bertemu seorang teman lama.
Banyak orang mungkin termasuk saya selalu dipenuhi 'keresahan' atas apapun. Kalau tidak resah dalam hubungan manusia ya resah melihat kondisi sekitar. No wonder kalau saya buka kerudung pasti banyak yang terheran heran melihat uban di kepala wanita berparas anak mahasiswa tingkat 1 (hayaaaahhhh...mahasiswa s3 kali) .
Dan manusia selalu mencari jalan untuk melepaskan rasa resah, dengan cara masing masing pastinya, ada yang selalu membutuhkan teman untuk mendengarkan dia di jam makan siang, ada yang 'berisik'di socmed dengan status dan tulisan, ada yang tidak henti 'bicara' di grup grup bbm, whatsapp atau mailing list, dan ada yang menulis dalam blog. Tapi itu wajar, karena manusia itu mahluk sosial kan? Dia butuh manusia lain..
Bagi saya 'yang entah kenapa selalu menjadi tong sampah dari keluh kesah teman teman dekat' Saya melihat banyak hal yang kita takut dan resahkan karena sebetulnya bersumber dari ketakutan dan bayangan yang diciptakan kita lho..

Contoh, untuk resign dari sebuah perusahaan yang membuat kita nyaman selama ini dengan gaji tetap  kemudian beranjak menjadi wirausahawan itu butuh kekuatan maha dahsyat terutama bagi laki laki sebagai kepala keluarga. Pastinya bayangan akan anak istri yang telantar karena penghasilan yang berubah menjadi tidak tetap begitu menghantui. Atau bagi wanita yang tidak bekerja, ibu rumah tangga, merasa tidak punya kapabilitas dan eksistensi, maka kehiilangan suami dalam bentuk apapun menjadi monster menakutkan sehingga ketika ada kondisi tertentu yang berarah pada 'kehilangan suami' resah dan panik menghantui..
Mari kita berfikir ulang, apakah ada di muka bumi ini yang tidak mendapatkan rejeki kalau dia berusaha? Meskipun usahanya adalah memasak nasi kuning di pagi hari dan menjualnya di halaman rumah.mungkin yang membuat resah adalah bagaimana hawa nafsu kita telah memenjarakan kita dalam simbol simbol status. Status istri berkecukupan yang bisa beli ini itu dengan bebas, bergaul ala sosialita yg berkutat di arisan,make up dan model baju terbaru, atau status suami yang bisa membawa anak istri liburan setiap 6 bulan,membanggakan sederet aset atau memanjakan anak anak dgn gadget terbaru..
Tapi sebenarnya apa sih cukup itu ?

Mungkin supaya hidup tenang , bahagia dan tidak panik meskipun jumlah uang di tabungan menipis atau bahkan tidak punya tabungan..kita musti me redefinisi kan kembali kata 'cukup' . Karena ketika kita tidak merasa cukup, disanalah sumber semua resah.
Suami yang tidak cukup baik untuk istri, istri yang tidak cukup berbakti bagi suami, rumah yang masih tidak cukup lapang untuk keluarga,sekolah yang tidak cukup baik untuk anak anak..semua dirasa selalu tidak cukup

Saya selalu percaya otak bisa di setting, menghadapi apapun dan merasa cukup itu adalah masalah setting. Dan jangan pernah melihat pada orang lain karena rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput di rumah kita.

Dan saya selalu mengingat ingat sebuah kalimat yang saya sendiri lupa dikutip dari mana -kalau tidak salah dari rumi-
Die before death..
Matilah sebelum mati..
Pandanglah dunia seadanya dan secukupnya...

Friday, October 18, 2013

Dan berhentilah memaki...

Daripada mengutuk kegelapan
Lebih baik nyalakan lilin

Dua kalimat dari anies baswedan itu ternyata kekuatannya hebat, bisa menggiring 400 manusia muda dari berbagai latar belakang pendidikan yang baru lulus kuliah untuk membaktikan diri menjadi pengajar muda di pelosok negeri selama setahun.

Bukan itu yang akan saya bahas kali ini.  potensi intelektualitas dan keterbukaan arus komunikasi dan informasi  saat ini menjadikan manusia lebih mudah menangkap berbagai macam fenomena sekaligus mengkritisinya. Media informasi dengan keran kebebasan seluas luasnya membuat kita mudah mencurahkan segala kritik, protes, masukan melalui social media. Bahkan salah seorang teman saya pernah  berkomentar bahwa 'tembok ratapan' itu sudah berpindah dari yerusalem nun jauh disana ke wall di dinding fb kita atau kicauan twitter.
Di Satu sisi ini hal yang menggembirakan, bagaimana jarak, waktu dan ruang menjadi tiada arti. Di sisi lain, kecenderungan untuk banyak bicara menjadikan kita merasa bahwa dengan bicara, menulis, mengeluh, maki maki sudah menuntaskan kewajiban kita sebagai warga negara yg baik misalnya. Pastinya bakal banyak kalimat sejenis dengan 'saya sudah bayar pajak, pemerintah dong harua kerja keras'


Tidakkah terpikir bahwa negara atau kota deh yg scope nya lebih kecil akan memenuhi harapan kita menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni kalau kita , bagian terbesar dari sebuah kota hanya bisa memaki, bersorak dari jauh tanpa pernah mau menggerakan diri, menggerakkan keluarga atau masyarakat sekitar untuk paling tidak melakukan sesuatu yg sederhana.

Saya sangat percaya bahwa pergerakan dengan adanya engagement (keterikatan sukarela) akan membawa energi besar pada perobahan dibandingkan setting program yang sifatnya top down. Banyak gerakan yang membawa pada keberhasilan melalui proses melibatkan semua orang bahwa banyak masalah di kehidupan kita itu bukan masalah pemerintah atau negara saja, tetapi itu menjadi masalah kita. Contoh, ketika banjir sudah melanda satu sektor diperkotaan karena letak daerah itu di bawah jalan raya sehingga ketika hujan air tumpah ruah ke perkampungan, maka masyarakat tidak lah sulit untuk diarahkan membersihkan selokan atau mengakomodir gaya hidup 'zero waste' . Dan itu adalah energi positif seperti halnya gerakan indonesia berkebun, gerakan indonesia mengajar dll. Itu karena masyaraka sudah mulai merasa bahwa masalah bukanlah semata berada di pemerintah sana, tetapi disini di dekat kita.

Sisi lain, ketika kita memaki, mengkritisi dengan energi negatif , maka yang terjadi adalah kacamata kita akan selalu berada dalam lensa negatif, hati kita akan selalu memandang dengan nyinyir mencari cari salah siapa dan bukan solusi kecil apa yang harus saya lakukan untuk membantu. Dan saya angkat topi tinggi tinggi untuk banyak relawan pekerja sosial di kota ini yang tidak perlu terlalu banyak mengutuk kegelapan, tetapi berusaha menyalakan lilin meskipun lilin itu kecil dan redup.tapi bukankah apabila ada ribuan lilin yang dinyalakan yang ada adalah terang di sekeliling kita ?


#curcol setelah seharian berjalan d sebuah kelurahan di kota bandung dan bertemu seseorang yang menginspirasi

Saturday, October 12, 2013

Berhenti dan bersandarlah

Pernah terpikir tidak bahwa kita ini selalu merasa bahwa pikiran kita ini membawa kita pada kebenaran sejati. Karena kita merasa bahwa kita ini paling baik, paling pintar dan paling kritis...
Sehingga kadang merasa bisa memverifikasi apapun, bisa membuktikan bahwa kita tidak butuh apapun kecuali egoisme diri merasa paling hebat. Dan pada akhirnya keresahan tidak akan berhenti menemukan sandaran

Time flies..my dear friend
saatnya kita berlabuh, di pantai manapun , menikmati matahari, menikmati ombak dan yang terpenting menjadi diri yang lebih santun, merendah dan berserah diri pada Tuhan..
karena kita tidak pernah tahu kesombongan fikiran kita akan membawa kita kemana..
Minds are beautiful..but still we should have a heart..
Ketika pikiran membawa pada menilai orang lain, menghina dan mencerca, maka dimana yg namanya nurani..sepertinya hati tidak pernah membawa kita untuk menganggap orang lain selalu buruk. Karena hati itu jujur, kalau kita selalu 'mendengar'

Hedeuh ini saya meracau..

Thursday, October 10, 2013

The city we have...

What we can do for our city?
Just stop talking and do something..

Banyak hal sebetulnya yang bisa kita lakukan untuk membuat bandung minimal menjadi kota yang layak huni. Aspek humanis sebuah kota yang nyaris hilang sudah saatnya dikembalikan. Romantisme bandung puluhan tahun yl waktu saya sekolah dasar *meskipun sekolah saya itu di perkampungan urban* menyeruak kembali ketika saya mengikuti perhelatan besar, salah satu penanda sejarah di acara workshop 'design thinking'. Ini bukan hanya workshop biasa, karena selain dihadiri banyak pemerhati kota, desainer, arsitek juga dihadiri oleh aparat pemerintah di kota Bandung.

Selama 3 hari (1-3 okt 2013) kita bercampur baur seluruh peserta dalam kelompok kelompok yang terdiri atas campuran berbagai profesi. Menyenangkan karena kita betul betul merasakan bagaimana kota in dengan masalah masalah 'pergerakan manusia' , transportasi kota, kemacetan dll. Dan saya berada dlm kelompok yang terdiri atas seorang camat, bidang pariwisata , pengembang industri IT, arsitek, dosen dll.

Kita memulai dengan berjalan menapaki jalan cihampelas yang wuihhhh...*ngelap dahi. Mungkin sudah 15 tahun lebih saya tidak berjalan menyusuri cihampelas karena terus terang sama sekali tidak tertarik(setiap lewat paling juga masuk ke ciwalk dan kemudian parkir di dlmnya). Dan ternyata.. Cihampelas itu nyaris tidak punya trotoar..
Berjalan sepanjang kurang lebih 2 km saja mungkin tidak terhitung berapa kali hampir disambar motor, di klakson mobil dan perjuangan gila gilaan untuk menyebrang jalan. Betul betul saya baru merasakan bagaimana 'prilaku manusia urban' karena tema kelompok saya mengamati 'urban ethic' dan mencari solusi melalui pengamatan ini.

Saya melihat prilaku penduduk bandung masih kental, manusia berkerumun , leyeh leyeh di bawah pohon pohon besar sepanjang jalan sambil ngobrol, ngopi, merokok, main catur...tapi laiknya sebuah kota prilaku negatif pun terpapar disini. Terburu buru, parkir dimana pun, bahkan membeli barang di kaki lima pun enggan turun dari kendaraan- walhasil menimbulkan macet panjang. Dan ini yang menjadi perhatian kelompok kita, setelah mengamati prilaku yang 'tidak malu' seperti naik ke trotoar, parkir di trotoar, menyingkirkan pejalan kaki dari trotoar maka kelompok kita memilih 'trotoart' sebagai tema utama.

Hari ke 2 dan 3 workshop dilalui dengan ketawaan, perdebatan sengit, membuat model/prototype, role playing tentang prilaku urban dan diakhiri dengan presentasi di depan seluruh peserta.saya tidak ingin membahas hasil hasil workshop karena semuanya keren keren (termasuk hasil kelompok saya hahaha) yang saya sangat tandai adalah workshop dengan 200 peserta yang berkolaborasi dari berbagai bidang dan 'berempati' terhadap kota yang sakit ini menyisakan hal hal yang baik.

Banyak kelompok yang akhirnya membuat grup di whatsapp untuk ngobrol tentang kota, dilanjut dengan berusaha mewujudkan ide ide asik di beberapa bagian kota. Dan kelompok saya mulai melakukan aksi dengan memulai di jalan braga (karena di kelompok kita ada pak camat sumur bandung yang tidak sabar ingin membuat perobahan) , menerapkan design thinking dalam revitalisasi braga. Bahkan saya mulai memikirkan bahwa program ini asik juga kalau dilakukan oleh anak anak di ecoethno.
Saya yakin ada 200 orang yang mulai menumbuhkan pohon kesadaran dalam dirinya, paling tidak saya mulai sadar bahwa saya ini bagian dari masalah kota dgn ngomel ngomel macet dari balik setir mobil ber cc besar :D. Dan sepertinya saya mulai harus mencoba at least sehari dalam seminggu memakai angkot ke tempat beraktifitas. And its feel good...