Thursday, October 10, 2013

The city we have...

What we can do for our city?
Just stop talking and do something..

Banyak hal sebetulnya yang bisa kita lakukan untuk membuat bandung minimal menjadi kota yang layak huni. Aspek humanis sebuah kota yang nyaris hilang sudah saatnya dikembalikan. Romantisme bandung puluhan tahun yl waktu saya sekolah dasar *meskipun sekolah saya itu di perkampungan urban* menyeruak kembali ketika saya mengikuti perhelatan besar, salah satu penanda sejarah di acara workshop 'design thinking'. Ini bukan hanya workshop biasa, karena selain dihadiri banyak pemerhati kota, desainer, arsitek juga dihadiri oleh aparat pemerintah di kota Bandung.

Selama 3 hari (1-3 okt 2013) kita bercampur baur seluruh peserta dalam kelompok kelompok yang terdiri atas campuran berbagai profesi. Menyenangkan karena kita betul betul merasakan bagaimana kota in dengan masalah masalah 'pergerakan manusia' , transportasi kota, kemacetan dll. Dan saya berada dlm kelompok yang terdiri atas seorang camat, bidang pariwisata , pengembang industri IT, arsitek, dosen dll.

Kita memulai dengan berjalan menapaki jalan cihampelas yang wuihhhh...*ngelap dahi. Mungkin sudah 15 tahun lebih saya tidak berjalan menyusuri cihampelas karena terus terang sama sekali tidak tertarik(setiap lewat paling juga masuk ke ciwalk dan kemudian parkir di dlmnya). Dan ternyata.. Cihampelas itu nyaris tidak punya trotoar..
Berjalan sepanjang kurang lebih 2 km saja mungkin tidak terhitung berapa kali hampir disambar motor, di klakson mobil dan perjuangan gila gilaan untuk menyebrang jalan. Betul betul saya baru merasakan bagaimana 'prilaku manusia urban' karena tema kelompok saya mengamati 'urban ethic' dan mencari solusi melalui pengamatan ini.

Saya melihat prilaku penduduk bandung masih kental, manusia berkerumun , leyeh leyeh di bawah pohon pohon besar sepanjang jalan sambil ngobrol, ngopi, merokok, main catur...tapi laiknya sebuah kota prilaku negatif pun terpapar disini. Terburu buru, parkir dimana pun, bahkan membeli barang di kaki lima pun enggan turun dari kendaraan- walhasil menimbulkan macet panjang. Dan ini yang menjadi perhatian kelompok kita, setelah mengamati prilaku yang 'tidak malu' seperti naik ke trotoar, parkir di trotoar, menyingkirkan pejalan kaki dari trotoar maka kelompok kita memilih 'trotoart' sebagai tema utama.

Hari ke 2 dan 3 workshop dilalui dengan ketawaan, perdebatan sengit, membuat model/prototype, role playing tentang prilaku urban dan diakhiri dengan presentasi di depan seluruh peserta.saya tidak ingin membahas hasil hasil workshop karena semuanya keren keren (termasuk hasil kelompok saya hahaha) yang saya sangat tandai adalah workshop dengan 200 peserta yang berkolaborasi dari berbagai bidang dan 'berempati' terhadap kota yang sakit ini menyisakan hal hal yang baik.

Banyak kelompok yang akhirnya membuat grup di whatsapp untuk ngobrol tentang kota, dilanjut dengan berusaha mewujudkan ide ide asik di beberapa bagian kota. Dan kelompok saya mulai melakukan aksi dengan memulai di jalan braga (karena di kelompok kita ada pak camat sumur bandung yang tidak sabar ingin membuat perobahan) , menerapkan design thinking dalam revitalisasi braga. Bahkan saya mulai memikirkan bahwa program ini asik juga kalau dilakukan oleh anak anak di ecoethno.
Saya yakin ada 200 orang yang mulai menumbuhkan pohon kesadaran dalam dirinya, paling tidak saya mulai sadar bahwa saya ini bagian dari masalah kota dgn ngomel ngomel macet dari balik setir mobil ber cc besar :D. Dan sepertinya saya mulai harus mencoba at least sehari dalam seminggu memakai angkot ke tempat beraktifitas. And its feel good...

No comments:

Post a Comment